INDONESIA. Negara yang tak diragukan lagi akan kekayaan budaya
dan juga keseniannya. Namun, tidak sedikit pula orang terlebih kawula
remaja yang tidak mengetahui budaya daerahnya sendiri, apalagi
melestarikannya secara langsung. Banyak di antara mereka yang terbawa
oleh arus budaya dari luar. Mengikuti arus perkembangan zaman sekarang
memang boleh, bahkan diharuskan. Toh,itu pun demi kemajuan kita
bersama. Namun apabila sampai meninggalkan kebudayaan kita sediri, sama
halnya dengan kita tak menghargai apa yang kita miliki.
Kali ini saya ingin memperkenalkan kepada Anda salah satu
kesenian dari daerah saya yaitu dari Nganjuk, tepatnya di Desa Termas
Kecamatan Patianrowo Kabupaten Nganjuk. Kesenian tari Mung Dhe,
begitulah disebutnya. Tidak banyak orang memang yang mengetahui
kesenian tari yang satu ini, untuk itu saya ingin menunjukkannya kepada
Anda.
Sedikit cerita tentang sejarah tari Mung Dhe. Kesenian tari ini sangat
erat kaitannya dengan peristiwa besar yang terjadi di Jawa Tengah pada
awal abad ke-19, yaitu peristiwa Perang Diponegoro 1825 – 1830 di bawah
pimpinan Sentot Prawirjo. Perjuangan melawan bangsa kolonial Belanda
di Jawa Tengah waktu itu mendapat kegagalan. Pengikut Diponegoro
tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Setelah
kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar, ibaratnya sebagai
buronan, mereka selalu diawasi oleh bangsa Belanda. Para prajurit yang
masih tersisa berupaya menyusun benteng kekuatan. Namun upaya itu tidak
berani dilakukan secara terang-terangan, melainkan melalui penyamaran
yaitu dengan berpura-pura menari dan mengamen keliling. Dan dari
sinilah kesenian tari yang sekarang dikenal dengan sebutan tari Mung
Dhe tersebut tercipta.
Pada awalnya kesenian ini diciptakan oleh sisa-sisa Prajurit Diponegoro
yang menetap di Desa Termas Kecamatan Patianrowo. Kesenian ini
diciptakan bersama-sama oleh 14 orang yang kesemuanya masih ada
hubungan keluarga. Ke-14 orang itu diantaranya Kasan Tarwi, Dulsalam,
Kasan War, Kasan Taswut, Mat Khasim, Suto, Samido, Rakhim, Mat Ngali,
Mat Ikhsan, Mat Tasrib, Baderi Mustari dan Soedjak. Dan antara percaya
dan tidak ternyata nama-nama yang tercantum tersebut ternyata saya
masih memiliki garis keturunan dengan salah satu diantara mereka, yaitu
Kasan Tarwi, denan nama aslinya Kasan Taruno Pawiro. Ia ialah kakek
buyut saya. Sangat kaget karena saya merupakan keturunan berdarah seni,
padahal orang tua maupun saudara saya tidak ada yang memiliki
kemampuan di bidang seni. Kecuali kakak saya yang masih ada darah seni
di bidang seni lukis kaligrafi.
Tari ini bertemakan perjuangan yang menggambarkan tentang sosok
prajurit dengan kegagahannya, dan keperwiraannya yang tangkas
bersenjata. Karena tari ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air
, heroik patriotisme, sehingga gerakan tari di ambilkan dari gerakan
keprajuritan dan bela diri (silat). Penciptaan kesenian ini dimaksudkan
untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai
daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang
selalu mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro
berada. Penyamaran mereka ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda
tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe adalah prajurit
yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang.
Pimpinan prajurit menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup
wajahnya sambil memainkan gerakan-gerakan lucu sebagai Penthul dan
Tembem. Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul
instrumen gamelan yang disebut dengan penitir dan yang menghasilkan
bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali. Ketentuannya, mung pertama
sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung ketiga
mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng
(pengiring) yang bernama Bendhe (kempul kecil).
Pada dasarnya, cerita tari mung dhe menggambarkan tari prajurit yang
sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan
memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan . Pihak
yang membantu dan memberi semangat , di sebut botoh . Botohnya ada dua
,yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang
kalah. Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu, sehingga
membuat orang lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang dan
kadang merasa geli, karena yang berlatih perang memakai pedang,
sedangkan botohnya lucu .
Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat
lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang
digemari dan berkembang dengan pesat.
Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pemain dengan masing-masing peran pada awalnya, yaitu :
- 2 orang berperan sebagi penari /prajurit
- 2 orang berperan sebagi pembawa bendera
- 2 orang berperan sebagai botoh
- 8 orang berperan sebagai penabuh /pengiring
Pada perkembanganya sekarang hanya melibatkan 12 orang, yaitu 6 alat untuk 6 orang pemain.
Di dalam pengaturan organisasi tari Mung Dhe untuk penarinya adalah
laki-laki serta perempuan dan dalam tingkatan usia dewasa [baik yang
menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang ini, tari Mung Dhe
sering ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan
Duta Wisata, maupun Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat
Upacara Wisuda (gembyangan-red) Waranggono.
Sumber terkait :
http://jawatimuran.wordpress.com/2013/06/10/kesenian-atau-tari-mung-dhe-kabupaten-nganjuk/